Jumat, 08 Agustus 2008

Think! Act! Judge!

Manusia bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan oleh apa yang diajarkan manusia lain (dalam hal ini baik dan buruk). Hukum dibuat untuk membuat 'keteraturan' dan memberikan 'keadilan'. Tapi apakah manusia yang memiliki pandangan individual yang unik masing2nya bisa diketahui benar atau salah atas tindakan yang dilakukannya?

apakah parameter yang membuat seorang manusia mampu membedakan baik dan buruk tindakannya? parameter itu adalah rasa bersalah. Kita tahu jika kita membuat sesuatu yang menyakiti orang lain maka kita akan merasakan perasaan ini (kecuali buat orang gawat yang udah kaga ngerasa lagi).

Hati nurani merupakan penyebab dari perasaan ini. Kalo Ten Ryu boleh bilang sih Hati nurani adalah jiwa anak kecil polos yang (seharusnya) dimiliki oleh semua orang. Semakin banyak kita mengetahui apa itu baik dan buruk, semakin sedikit hal-hal yang 'boleh' dilakukannya. Namun kita biasanya juga 'membohongi' anak polos ini seperti dengan mengatakan 'bohong ini untuk kebaikan' ato 'ini bener2 kepaksa' untuk membuat hati nurani kita menerima.

The paradox that exist in this concept is: if you don't know what you do is right or wrong, then can you tell if it is a crime? contoh kalo ada seorang yang membunuh orang lain tanpa tahu kalau membunuh itu 'tidak baik', apakah orang itu bersalah? hati nuraninya tidak 'bereaksi' terhadap tindakan 'membunuh', apakah dia bisa dikatakan bersalah? Mungkin jika kita tanya yang membunuh itu dia akan mengatakan kalau dia tidak berbuat salah dan mungkin Ten Ryu tidak akan menganggap orang itu sebagai 'penjahat' meskipun ia tetap harus mempertanggungjawabkan tindakannya. =3

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kalau saya rasa, hati nurani itu pada awalnya polos. Saat kita masih bayi atau saat masih anak2. Nah, lama2 hati kuta pun terisi oleh pengaruh lingkungan. Baik dari ortu, temen2 kita, saudara ampe ke TV, buku dan media2 lain.

Dari lingkungan kita belajar membedakan yang benar dan salah. Tapi kadang2 malah dari lingkungan juga kita menganggap yang salah jadi benar. Contohnya dari TV. Seorang anak yang terlalu byk menonton adegan kekerasan bisa menganggap bahwa kekerasan dalam menyelesaikan masalah itu wajar2 saja. Misalnya ketika ia bersekolah, ia suka berantem. Hal itu terjadi karena anak itu mendapat pengaruh negatif dari berbagai sumber.

semakin dewasa, sang anak semakin banyak menfapat pengaruh yang baik dan buruk. Hati nuraninya sendiri makin sulit terdengar karena nalar dan pola pikir yang sudah terbentuk.

kalau para koruptor itu, apakah selama ini hati nuraninya mati karena pengaruh negatif dari para pendahulunya? atau karena 'warisan' dari zaman2 yang lalu...waa :p